Senin, 05 Desember 2011

SUMBER HUKUM ISLAM (Istihsan. Maslahah Mursalah. Sadd al-Dzariah)

PENGERTIAN ISTIHSAN
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”[1]
Secara Harfiyah, Istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.(Kamus Lisan Al-Arab)[2]
Menurut Istilah ulama ushul, istihsan adala sebagai berikut :
Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I :137, Istihsan adalah segala sesuatu hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.
Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, Istihsan adalah segala sesuatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam Madzhab Al-Maliki berkata, Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.
Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, definisi yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi diatas.
Sebagian Ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yangg menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia dan yang lainnya.

Dasar Hukum Istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan.
Golongan lain yang  menggunakan  istihsan  ialah  sebagian  Madzhab  Maliki  dan  sebagian Madzhab Hambali.Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjahialah yaitu Madzhab Syafi’i karena Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan  hawa  nafsunya,  sedang  yang  berhak  menetapkan  hukum  syara’ hanyalah  Allah  SWT."  
Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama
1.      Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanfiyah banyak sekali menggunakan Istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya Istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut Istihsan.
2.      Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya Istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanafiah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan Istihsan.
3.      Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, al-Jalal am-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’Al-Jawami’mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanafiah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk didalamnya golongan Hanabilah.
4.      Ulama Syafi’iyah
Golongan Al-Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya Istihsan, dan mereka benar-benar menjauhi untuk menggunakannya dalam Istimbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barangsiapa yang menggunakan Istihsan beraarti ia telah membuat syari’at” Beliau juga berkata, “segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT, setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan Qiyaz, namun tidak diperbolehkan menggunakan Istihsan.”

Pengaruh Istihsan dalam Masalah Fiqih
Dibawah ini akan diberikan beberapa contoh tentang pengaruh istihsan dalam masalahh fiqh :
a.       Lelaki yang menghadap perempuan dalam shalat
Berdasarkan sunah, para ulama sepakat bahwa apabila laki-laki dan perempuan melakukan shalat berjamaah, maka perempuan berada dibarisan belakang laki-laki. Tetapi mereka berbeda pendapat, mengenai seorang perempuan yang melaksanakan shalat berjamaah tepat berada pada barisan laki-laki atau laki-laki yang melaksanakan shalat jamaah tepat berada pada barisan perempuan.
1.      Abu Hanafiah dan sahabat-sahabatnya berpendapat, bahwa dianggap rusak shalat seorang laki-laki yang menghadap (berada dibelakang) perempuan, dan tidak dianggap rusak shalat perempuan yang menghadap (berada dibelakang) laki-laki. Dalam kitab Bidayah Al-Mubtadi (255:1), ia mengatakan bahwa apabila dihadapan laki-laki itu terdapat seorang perempuan dan keduanya sama-sama dalam satu shalat, maka shalat laki-laki itu adalah fasad (rusak) jika ia bertekad atau niat menjadikannya (perempuan) itu sebagai imam.
2.      Imam yang tiga (Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad),berpendapat bahwa shalat tersebut adalah makruh, namun shalat salah satu diantara mereka, baik perempuann maupun perempuan tidaklah rusak. Dalam Syarh Al-Kabir (333:1) dinyatakan bahwa shalat seorang laki-laki yang berada diantara barisan perempuan dan atau sebaliknya adalah makruh. Dan dalam Kitab Al-Hasysyiyat dipertegas bahwa baik laki-laki yang menghadap (di belakang) perempuan maupun perempuan yang menghadap (dibelakang) laki-laki adalah makruh.
3.      Dalam Kitab Al-Umm (150:1), Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa apabila seseorang bermakmum kepada seorang laki-laki dan kepada seorang perempuan, sedangkan perempuan tersebut berdiri dibelakang imam, dan laki-laki berada dibelakang perempuan atau perempuan tersebut berdiri disamping imam, kemudian laki-laki itu bermakmum kepadanya dan ia berada disamping perempuan tersebut maka shalat bagi perempuan, laki-laki, dan imam tersebut adalah makruh, namun sholat salah satu diantara mereka tidak rusak.
4.      Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni (150:1), berpendapat bahwa jika terdapat seorang perempuan yang melaksanakan shalat pada barisan laki-laki, maka shalatnya itu adalah makruh, namun tidak menjadikannya batal.
Diantara argumen yang dikemukakan oleh para ulama diatas adalah sebagai berikut :
a.       Landasan madzhab Hanafi atas pendapat mereka mengenai rusaknya shalat seorang laki-laki yang berhadapan dengan perempuan adalah istihsan. Alasan istihsan itu berdasarkan perintah dari Rasulullah untuk mendahulukan laki-laki dan mengakhirkan perempuan dalam shalat, karena apabila laki-laki diakhirkan atau shalatnya menghadap kepada perempuan,maka ia dianggap tertinggal shalat fardu dan shalatnya pun yang menjadi rusak. Perintah yang dimaksud adalah sabda Rasulullah SAW, yang berbunyiAkhirkanlah mereka (perempuan) sepertinya Allah mengakhirkannya”.
b.      Alasan ulama yang menyatakan shalatnya makruh adalah mereka menganalogikan keadaan shalat dengan sesuatu yang terjadi diluar shalat, maka shalatnya tidaklah batal menurut Ijma’. Hal tersebut didasari oleh praktek yang dilakukan Rasulullah SAW, yaitu ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat, sementara ‘Aisyah tertidur dihadapannya.
c.       Dalam kitab Al-Umm (150-151), Asy-Syafi’i mengatakan bahwa sesungguhnya apa yang aku katakan ini diinformasikan pula oleh Ibnu ‘Uyainah kepadaku dari Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah ia berkata, “ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat malam, sedang aku berbaring antara beliau dan arak kiblat seperti berbaringnya jenazah. Asy-Syafi’i berkata,”jika seorang perempuan yang berada dihadapannya tidak merusak laki-laki yang melakukan shalat, maka perempuan tersebut baik dikanan atau kiri laki-laki itu maka tidak merusak shalat laki-laki itu”. (Al-Mughni hal.150, jilid II)
Zakat seluruh Harta tanpa Niat
Para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa dibarengi niat untuk memisahkan ukuran yang wajib dizakati. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kepada siapa sebenarnya diwajibkannya zakat atau bersedekah seluruh hartanya bila tidak disertai niat. Apakah kewajiban zakatnya menjadi gugur atau tetap berada pada tanggung jawabnya?
a.       Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa kewajiban tersebut tidak gugur. Dalam kitab Al-Majmu’ (191:6) dikatakan bahwa jika seseorang menyedekahkan (menzakatkan) seluruh hartanya dengan tidak disertai dengan niat zakat, maka zaakat tersebut tidak gugur.
b.      Ibnu Qadamah dalam kitabnya Al- Mughni (377:2), mengatakan bahwa walaupun hukum seseorang menyedekakahkan semua hartanya itu adalah sunah, tetapi jika ia tidak berniat zakat, maka ia tetap tidak  mendapatkan pahala zakat.
c.       Abu Hanifah dan rekan-rekannya berpendapat bahwa zakat tersebut adalah gugur. Ia menyatakan dalam kitab Al-Hidayah (493:1), bahwa barang siapa yang berzakat dengan seluruh hartanya, tetapi ia tidak menyertainya dengan niat zakat maka gugurlah kewajibannya.
Diantara argumen yang dikemukakan oleh mereka adalah :
a.       Alasan mereka yang mengatakan bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur karena orang tersebut belum berniat dengan apa yang disedekahkannya itu untuk membayar hal yang wajib atau fardhu. Maka zakatnya tidak gugur. Mereka menganalogikan hal tersebut pada shalat, yaitu jika seseorang melakukan shalat seperti apa yang mereka kehendaki dan ia tidak berniat shalat fardhu atas shalatnya itu maka shalatnya tidaklah gugur sebelum ia melakukan shalat tersebut dengan niat shalat fardhu. Sedekah tersebut bisa jatuh pada fardhu juga subbah. Oleh karena itu, niatnya harus ditentukan.
b.      Asy-Stafi’i dalam kitabnya Al-Umm (18:2), mengatakan bahwa apabila dalam bersedekah itu tidak ditentukan fardhu dan sunnahnya, mamka sebenarnya Allah SWT itu sangat mengetahui akan hal itu.
c.       Dalam kitab Al-Majmu’ (191:6), An-Nawani mengatakan bahwa perbuatan tersebut tidak murni sebagai fardhu dan jug tidak sah, seperti halnya shalat.
d.      Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni (377:2) berpendapat bahwa menyedekahkan (zakat) semua harta dengan tidak disertai niat zakat adalah tidak sah, karena tidak disertai dengan niat fardhu. Perbuatan tersebut juga tidak mendapatkan pahala. Hal tersebut sama halnya apabila seseorang melakukan shalat 100 rakaat tanpa menentukan niat bahwa shalat tersebut adalah shalat fardhu atau shalat sunnah.
e.       Alasan golongan Hanafi mengenai gugurnya kewajban itu adalah Istihsan. Pengarang kitab Al-‘Inayaj (126:5) berpendapat bahwa berdasarkan Qiyaz, kewajiban tersebut tidak gugur, karena sunnah dan fardhu keduanya merupakan Syari’at. Oleh karena itu, harus ditentukan seperti dalam shalat.
Alasan menurut dalil istihsan tentang zakat tersebut adalah setelah jelasnya  kewajiban tentang bagian dari seluruh hartanya, yaitu 4/10, dan ukuran tesebut merupakan ketentuan dari keseluruhan. Apabila sesuatu telah ditentukan, maka tidak perlu penenuan lagi, karena adanya fardhu itu telah membayar keseluruhan dan penentuan kefardhuan itu sendiri tuntuk mempersempit antara bagian yang harus dilaksanakan dengan bagian yang lainnya.

Jenis Istihsan
a.      Istihsan Nash
Istihsan Nash ialah istihsan yang sandaran nya adalah nash. Contohnya jual belibeli salam/indent.
b.      Istihsan al-Dharury
Istihsan al-Dharurah adalah istihsan yang sandarannya adalah dharurat. Contohnya : tidak diberlakukannya hukum potong tangan terhadap pencuri, karena pencurian dilakukan secara terpaksa/untuk mempertahankan hidup, seperti yang terjadi pada masa Umar ketika terjadi tahun kelaparan (‘amul maja’ah).
c.       Istihsan ‘Urf
Istihsan ‘Urf, yaitu istihsan yang sandarannya ‘urf. Contohnya : jual beli mu’athah di swalayan.
d.      Istihsan Istislahi, yaitu qiyas yang sandarannya maslahah
Dalam hal ini ulama berpindah dari dalil yang biasa/umum digunakankepada dalil lain yang khusus, berdasarkan pertimbangan maslahah. Contoh: Penerapan revenue sharing dalam sistem bagi hasil (profit distribution) di bank syariah. Menurut kebiasaan umum yang berlaku digunakan PLS, namun berdasarkan maslahah diterapkan Revenue sharing.
e.       Istihsan Qiyasi, adalah istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi
Dalam istihsan ini seorang ulama meninggalkan qiyas jali kemudian berpegang kepada qiyas khafi karena ada kemaslahatan. Contoh: Bersihnya makanan/minuman sisa burung  buas  (elang  dan  gagak).  Menurut  qiyas  jali,  sisa tersebut  najis  karena meng-qiyas-kannya kepada binatang buas yang lain yang dagingnya sama-sama haram dimakan. Namun, dalam hal kasus ini, ia di-qiyas-kan kepada burung biasa (qiyas khafi), sehingga sisa minuman/makananya dihukumkan bersih.


AL- MASHLAHAH AL-MASLAHAH
Menurut bahasa, kata Al-Maslahah adalah seperti lafadzh al- manfaat, baik artinya ataupun wazan-nya, yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya lafazh al-manfaat sama artinya dengan al-naf’u.
Bisa juga dikatakan bahwa al-Maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al-Mashalih. Pengarang Kamus Lisan Al-‘Arab menjelaskan dua arti, yaitu al-Maslahah yang berarti al-Shalah dan al-Mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-Mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudharatan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan mashlahah.
Manfaat yang dimaksud kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan kata lain, tahshil al-iqba. Maksud tashil adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung, sedangkan yang dimaksud dengan ibqa adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemudharatan dan sebab-sebabnya.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan atau tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Maslahah al-Mursalah.
Tujuan utama al-Maslahah al-Mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya. Sedangkan alasan dikatakan al-Mursalah, karena syara’ memutlakkannya bahwa didalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.

Pengertian dan Peristilahan Al-Maslahah Al-Mursalah
Menurut istilah umum Maslahah adalah mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala sesuatu yang ada kaitan denganya.
Pandangan terhadap Maslahah tebagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta pandanganya menurut syara’ (hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al Syatiby mengatakan: “maslahah ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu yang menguatkan keberlangsungan dan Menyerpurnakan kehidupan manusia, serta memenuhi segala keinginan rasio dan syahwatnya secara mutlak”.[3]
Sedangkan menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang menguatkan kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”.[4]
Sedangkan menurut al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”. sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu: 1. melindungi agama (hifdu al diin); 2. melindungi jiwa (hifdu al nafs); 3. melindungi akal (hifdu al aql); 4. melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl); 5. melindungi harta benda (hifdu al mal).[5]
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa lafad al-Maslahah dan al-Mafsadah adalah berupa bentuk yang masih umum, yang menurut kesepakatan ulama’ adalah mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia dan akhirat, al-Syatibi menyatakan “bahwa tujuan dari diturunkanya Syari’at adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat secara bersamaan”.[6]
Menurut para ulama ushul, sebagian ulama menggunakan istilah al-Maslahah al-Mursalah itu dengan kata al-Munasib al-Mursal, ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal. Istilah-istilah tersebut walaupun tampak sama memilki satu tujuan, masing-masing memiliki tinjauan yang berbeda-beda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahat dapat ditinjau dari tiga segi yaitu :
a.       Melihat Maslahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya perbuatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah dimasa sekarang. Akte nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi, kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah tersebut. Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut al-Maslahah al-Mursalah (maslahah yang  terlepas dari dalil khusus), tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at islam.
b.      Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-Washf al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya surat akte nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara’, antara lain untuk menjafa status keturunan. Akann tetapi, sifat kesesuaian ini tidak menunjukkan oleh dalil khusus. Oleh karena itu, dari sinilah disebut Al-Munasib al-Mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil syara’ yang khusus)
c.       Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses ini disebut istihlah (menggali dan menetapkan suatu maslahah).

Kehujjahan Maslahah Mursalah
Para ulama’ ushul fiqh berbeda argumen dalam hal kehujjahan maslahah al mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum syara’. Dalam hal ini kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengakui Maslahah mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum islam, sedangkan Imam Syafi’i dan kalangan Hanafiyah menolaknya dengan alasan sebagai berikut:
a)      Syariatlah yang akan mengatur kamaslahatan manusia dengan nash- nash dan petunjuk qiyas. Sebab syar’i tidak akan berlaku semena- mena terhadap manusia dengan tanpa merumuskan ketentuan- ketentuan hukum yang menjamin segala kemaslahatan manusia. Menetapkan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti menganggap syari’at islam belum lengkap dan masih ada masalah yang belum terselesaikan. Hal ini bertentangan dengan fiman Allah yang berbunyi sebagai berikut:
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?” (QS.al- Qiyamah: 36).
b)      Pembentukan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti membuka pintu nafsu para pemimpin, ulama’, atau para hakim untuk menetapkan hukum islam menurut selaranya atau kemauannya sendiri dengan alasan kemaslahatan.
Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa Ulama’ mengunakan maslahah mursalah adalah:
a.       Bahwa kehidupan manusia akan selalu berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia juga akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
b.      Seandainya konsep maslahah mursalah ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup ini, seperti keterangan dalam firman Allah:
 
“………dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”(QS.al haj:78)

SADDUDZ DZARI’AH
        Saddudz dzari’ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî'ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
        Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:

مَـا لَا يَتِـمُّ الـوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُـوَ الـوَاجِبٌ
"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka sesuatu hal tersebut hukumnya wajib pula"
        Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
        Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.

Dasar Hukum Saddudz Dzarî'ah
       Dasar hukum dari saddudz dzarî'ah ialah aI-Qur'an dan Hadits, yaitu:
a.       Firman Allah SWT:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan" (QS. Al-An'âm: 108)
        Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
b.       firman Allah SWT:
"…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…" (QS. An-Nûr: 31)
       Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
c. Nabi Muhammad SAW bersabda:
الا وحـمى الله مـعاصيه فمـن حـام حـول الحـمى يوشـك أن يقع فـبه
"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
       Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

Obyek Saddudz Dzarî'ah
       Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
a.       Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
b.      Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
       Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1.      Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2.      Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
3.      Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
      Yang nomor 1 disebut dzarî'ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang nomor 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang lemah). Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan saddudz-dzari’ah. Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yag dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudharata baik dan buruk. Dasar pegangan ulama untuk menggunakan saddudz-dzari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadah. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil perinsip yang berlaku.

Macam-Macam Saddudz Dzarî'ah
Adz-Dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu:
1.      Dari segi kualitas kemafsadatannya, Saddudz Dzarî'ah dibagi menjadi empat:
a.       Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya menggali sumur di jalan umum yang gelap.
b.      Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya menanam pohon anggur. Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi hal ini termasuk jarang. Karena itu, dzari’ah ini tidak perlu dilarang.
c.       Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat, misalnya menjual anggur kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari’ah ini harus dilarang.
d.      Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan ulama tentang dzar’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada yang berpendapat sebaliknya.
2.      Dzari’ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini dibagi menjadi 2, yaitu:
a.       Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadata.
b.      Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, namun digunakan untuk melakukan perbuatan yang haram baik disengaja ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan yang tidak sengaja misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang mengakibatkan orang tuanya juga dicaci-maki orang tersebut.
3.      Dzari’ah dilhat dari bentuknya dibagi menjadi empat,yaitu:
a.      Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan misalnya meminum mminuman keras. Hal ini dilarang oleh syara’.
b.      Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu kemafsadatan, misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh syara’.
c.       Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat, misalnya mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara’.
d.      Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa mafsadat, misalnya melihat wanita yang dipinang. Tetapi menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai kebutuhan.

Kehujahan Saddudz Dzarî'ah
Terdapat perbedaan pendapat di kalangulama tentang metode Saddudz Dzarî'ah ini.
1.      Ulama yang menerima sepenuhnya
Ulama malikiyah dan hanabilah dapat menerima kehujjahan sadd adz-dzari’ah ini sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
a.       Firman Allah
  
 Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108)
b.      Hadits Rasulullah SAW[7]
 اَلاَوَاِنَّ حِمىَ اللهِ مَعَاصِيْهِ فَمَنْ حاَمَ حَوْلَ الْحِمىَ يُوْشِكُ اَنْ يَقَعَ فِيْهِ
Ingatlah, tanaman Allah adalah maksiat-maksiat kepada-Nya. Siapa yang menggembalakan di sekitar tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
2.      Ulama yang menerima secara terbatas
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sadd adz-dzari’ah sebagai dalil jika kemafsadatan yang akan muncul itu dipastikan akan terjadi atau paling tidak diduga keras akan terjadi jika sebuah dzari’ah dikerjakan.[8]
3.      Ulama’ yang menolak
Ulama dhohiriyah tidak menerima sadd adz-dzar’ah sebagai salah satu dalil dalalm menetapkan hukum syara’. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya beramal berdasarkan nash secara harfiah dan tidak menerima logika dalam masalah hukum.


[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.111
[3] Wahba Zuhaili,ilmu ushl al fiqh., juz II.hlm.799-800
[4] Abd. Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.hlm. 86.
[5] Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al kitab al tsaqofiyah. Hlm. 138
[6] Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. Hlm 89
[7] A. Hanafi, M. A., Usul Fiqh, Jakarta, Wijaya, cetakan ke-12 1993. hal 147-148
[8] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A., op. cit hal 168-169